‘Belajar Membaca’ ala Sutardji
— Sutardji Calzoum Bachri (1979)
Ini adalah puisi yang sering muncul di kertas ujian ketika masih SMP. Yang ditanyakan dari soal bertuliskan puisi ini, seingatku tak lebih dari persoalan apa jenis puisinya, atau permasalahan mengenai tipografi katanya.
Tapi walaupun aku membacanya sebagai soal ujian, hatiku terenyuh tanpa sebab. Ada perasaan kecil yang muncul ke permukaan, yang membuatku ingin berlama-lama didalamnya. Aku ingin memahaminya.
Saat aku masih kecil, mungkin banyak hal yang tak aku mengerti, banyak yang sulit kupahami, aku kadang marah tanpa sebab, sedih tanpa sebab atau bertindak tanpa berpikir. Seiring aku dewasa aku menemukan banyak pemahaman dan pencerahan. Kadang-kadang aku juga menemukan kata-kata tersembunyi yang menjadi jawaban dari lahirnya emosiku pada suatu hal.
Dan saat aku mendengarkan kembali puisi ini sekarang. Kedengarannya dihatiku jadi berbeda.
Belajar Membaca
Kalau dalam KBBI. Belajar adalah usaha untuk mengerti suatu hal, baik objek ataupun subjek. Dan membaca adalah melihat serta memahami isi dari apa yang tertulis, membaca juga berarti sampai ke tahap dimana kita bisa mengetahui dan memperhitungkan apa yang terjadi.
Saat mendengar judulnya, aku berpikir.
Belajar membaca, bukanlah hal sederhana.
Seperti kesulitan yang dirasakan balita ketika ia mulai belajar membaca, bagaimana ia dibimbing sedikit demi sedikit, selangkah demi selangkah. Kata per kata, hingga lidahnya sempurna melafalkan sebuah kata.
Seperti itu juga ‘belajar membaca’ versi orang dewasa, membaca sekitarmu, membaca orang-orang di sekelilingmu, apa yang mereka rasakan, apa yang mereka pikirkan. membaca alam, apa yang sedang terjadi. Membaca adalah proses kau memahami, segala sesuatu disekelilingmu, baik benda mati ataupun hidup, dan Belajar adalah usaha yang kau ambil untuk menentukan langkah selanjutnya. Sikapmu.
Tapi manusia dewasa, selalu lupa belajar membaca. Tak tahan akan lelahnya, dan menyerah di tengah jalan. Kadang-kadang mereka hanya fokus melahap apa yang diterima sudut pandangnya. Tanpa mengunyah, dan tanpa toleransi terhadap kemungkinan lain.
Dan, ketika pikiran itu mulai berhenti, puisinya mulai dibacakan…
Kakiku Luka
Aku mendengar ia berkata ‘aku terluka’
Luka Kakiku
Kemudian ia menunjukkan lukanya,
Kakikau Lukakah
Lukakah Kakikau
Kemudian ia bertanya, apakah kau juga terluka?
Kalau Kakikau Luka
Lukakukah Kakikau
Kakiku Luka
Lukakaukah Kakiku
Jika kau juga terluka, mungkinkah kau merasakan hal yang sama denganku?
Kalau Lukaku Lukakau
Kakiku Kakikaukah
Kakikaukah Kakiku
Jika kau merasakan hal yang sama denganku, mungkinkah perjuanganku sama dengan perjuanganmu?
Kakiku Luka Kaku
Perjuangan yang begitu keras dan menyakitkan,
Kalau Lukaku Lukakau
Lukakakukakiku Lukakakukakikaukah
Lukakakukakikaukah Lukakakukakiku
Jika benar kau memiliki perjuangan yang sama denganku, apakah kau juga sedang kesakitan, sama sepertiku?
— Puisi Karya : Sutardji Calzoum Bachri
Kadang-kadang kita merasa sendirian, berjuang sendirian, sakit sendirian. Kali ini, ditengah kata-kata yang begitu terasa kesepian, Sutardji seakan-akan bicara bahwa diluar sana pasti ada yang merasakan apa yang ia rasakan, pasti ada yang sedang berjuang seperti apa yang ia perjuangkan. Kau tidak terluka sendirian, kau tidak berjalan sendirian.
Kadang-kadang juga kita merasa begitu ‘kaku’ seperti ada dalam ruang sempit yang membatasi ruang gerakmu, seperti tak punya pilihan dan dipaksa untuk menyerah.
Saat itu terjadi, jangan terfokus ditempat. Belajarlah membaca, bacalah sekelilingmu, ada begitu banyak orang merasakan hal yang sama, ada begitu banyak orang berjuang sekeras kita. Dan saat kau menyadarinya, jangan merasa sendirian dan teruskan langkah kakimu, walaupun kau terluka, tetaplah berjalan dan selesaikan perjalananmu.
You Never Walk Alone
Kintan A.
07–11–2019