Children,

how is it feel, to be their friend?

kintanalifa
8 min readJul 14, 2021

Karena aku akan mengajar lagi besok, aku jadi agak emosional. Entah kenapa aku jadi teringat momen-momenku bersama anak-anak tertentu di masa lalu. Tidak tahan, rasanya ingin kukeluarkan.

Aku enggak tahu kenapa, tapi aku selalu merasa berurusan dengan anak-anak bahkan saat aku juga bagian dari anak-anak itu sendiri. Selain aku anak pertama dengan dua adik perempuan yang jarak umurnya tidak jauh berbeda, aku lahir di keluarga besar nenekku sebagai cucu pertama dan aku selalu jadi pengasuh adik-adik sepupuku yang banyak. Saat mengasuh mereka, aku geli sendiri melihat mereka berinteraksi dengan cara yang berbeda-beda. Ada yang manipulatif, ada yang polos sekali. Kadang-kadang mereka malah salah memanggilku “Mama”, membuatku malu didepan umum.

Saat aku masuk sekolah dasar, aku juga banyak bertemu anak-anak yang unik. Kita bisa bilang semua anak itu unik, tapi aku selalu tertarik sama anak-anak yang punya masalah khusus. Di pikir-pikir ada satu teman yang berkesan dalam ingatanku.

Waktu aku sekolah dasar, ada anak yang katanya paling nakal di sekolahku. Dia selalu dimarahi guru, paling sering bolos, tidak pernah mengerjakan PR dan selalu tidur dikelas, bahkan pernah suatu hari saat dia tidak masuk, ada seorang pedagang datang ke kelas menagih hutang pada guru kami dan bilang bahwa dia sebenarnya datang ke sekolah dan mengambil jajanan tanpa membayar.

Awalnya aku juga gak berurusan dengannya, tapi suatu hari dia duduk di belakangku. Walaupun nilaiku bagus, sebagian guru-guruku tahu kalau aku anak yang lumayan nakal, sebagian lagi sudah terbutakan dengan nilai rapotku yang bagus dan penampilan luarku yang pendiam, berasumsi kalau aku anak baik dan gak neko-neko. Padalah aku lumayan sering berkelahi.
Jadi suatu hari saat aku bosan di kelas dan tugasku sudah selesai, aku menganggunya yang sedang tertidur pulas dikelas. Aku mengetuk-ngetuk mejanya, karena tidak ada respon, aku mencuri barang miliknya dan ketahuan. Dan karena dia lagi bad mood dia marah, lalu aku menertawakannya.

Karena kesal, saat aku berbalik dia menonjok bagian belakang punggungku sampai bunyi ‘gedebuk’, dadaku terbentur meja didepanku dan itu sangat sakit. Apa yang kulakukan? Aku menangis, oh iya sebagian murid dikelas sudah tahu kalau aku cengeng, aku mudah menangis, walaupun seringnya aku menangis karena marah. Aku menangis dan dia kembali tidur.

Tapi tentu saja tidak beres sampai disitu, saat pulang, teman-teman perempuanku membantuku mengurungnya di kelas yang sudah sepi, hari itu temanku berjaga-jaga dan aku berkelahi dengannya saat semua anak sudah pulang, aku berniat berkelahi hingga aku mendengar permintaan maaf darinya. Tapi yang kudapat lebih dari itu, hari itu aku berhenti saat ia mengucapkan “ampun” dan menangis. Kami sama-sama berantakan dan aku tertawa saat dia menangis, karena canggung.

Anehnya sejak saat itu, hubungan pertemanan kami malah jadi lebih baik, walalupun seringnya sindir-sindiran, kami selalu berujung menertawakan satu sama lain.

Suatu hari, aku pulang sekolah telat lagi karena bermain di pohon bambu. Dan aku tidak sengaja bertemu Ibunya anak itu di sekolah, sedang kebingungan mencarinya karena belum pulang dari kemarin. Aku kaget dan bilang kalau dia tidak masuk juga hari itu dan sekolah sepi karena semua orang sudah pulang. Hari itu, di siang hari yang terik di belakang pohon bambu kecil, aku duduk bersebelahan dengan ibunya di depan kelas kami dan ibunya menangis sambil bercerita tentang permasalahan hidupnya.

Aku tidak tahu apa yang membuat orang dewasa seperti dirinya, duduk dengan anak SD ingusan sepertiku dan mengadu masalah hidup yang berat padaku, tapi aku dengarkan sampai selesai. Dia bercerita tentang Ayah temanku itu, kondisi keluarganya dan kekhawatirannya soal anaknya yang bergaul dengan orang-orang tidak jelas dan sering kabur dari rumah. Dan sekilas, aku merasa aku ingin menangis juga. Tanpa sadar aku bilang pada ibunya, kalau aku akan menjaganya di kelas.

Lucu bukan? Apa yang bisa dilakukan anak SD sepertiku ? Tapi sejujurnya, hari itu aku bangga mengatakannya.

Mulai saat itu, aku selalu duduk dekatnya, entah dibelakang bangku atau didepannya, sebisaku memastikan dia tidak bolos sekolah lagi dan selalu mengerjakan PR. Aku juga bercerita padanya tentang Ibunya dan untungnya dia mau mendengarkan. Saat dia ingin kabur karena belum mengerjakan tugas aku akan menarik bajunya, melotot padanya dan dia akan mengeluarkan cengiran kudanya. Lalu aku akan membiarkan dia mencontek milikku dulu. Saat istirahat aku akan membuatnya duduk di meja dan tidak beranjak sampai dia mengerti apa yang kujelaskan.

Walaupun aku lebih sering main dengan anak perempuan, tapi di beberapa kesempatan dia selalu punya cara unik untuk membantuku. Seperti saat aku datang kesekolah dengan wajah bengkak karena menangis semalaman berantem dengan Papa. Aku punya kebiasaan sembunyi di kolong meja kelas dan tak mau keluar. Kalau sudah begitu, dia akan mengumpulkan teman-temannya mengelilingi mejaku dan membuat kegaduhan sambil menyindir-nyindirku yang ada di bawah meja. Tentu saja aku akan marah dan keluar, saat aku keluar, dia dan teman-temannya akan bertepuk tangan, bersorak dan mengejek wajahku yang jelek karena menangis.

Saat aku berantem dengan salah satu teman perempuanku dan aku mulai terpojok karena tidak bisa berkata-kata, dia akan berteriak dari sudut dan membelaku, lalu teman laki-laki nya yang lain juga akan ikut-ikutan membelaku.

Dia juga jadi lebih terbuka denganku, suatu hari bahkan dia pernah mengajakku melihat anak perempuan yang dia sukai di sekolah lain. Aku masih ingat apa yang dia bilang waktu itu, “Cantik kan, kayak bidadari”. Aku bilang padanya, “jago kalau dia mau sama kamu”.

Suatu hari, dia datang lebih awal ke sekolah dan bilang padaku kalau dia belum mengerjakan PR. Aku mengajari dia sebentar dan membiarkan dia melihat buku PR ku sementara aku mengobrol dengan teman sebangkuku. Lalu sesaat kemudian dia berbalik, “Kintan, nomor ini kamu salah ngerjainnya”.

Dan aku terhenyak, dia yang semua orang dan bahkan aku, pikir sulit dan tak ada harapan sebenarnya masih punya lebih banyak potensi yang belum keluar. Lupakan soal aku yang rajin dan belajar dengan keras setiap hari, dia dalam waktu singkat bahkan bisa memeriksa PR yang kukerjakan seharian. Akhirnya sejak saat itu aku memaksanya mengerjakan PR sendiri dan saling memeriksa hasil satu sama lain.

Suatu hari, saat aku sudah kelas 3 SMP, sedang duduk sendirian, seorang anak perempuan seumuranku, yang cantik dan berkulit pucat mendekatiku dan bilang ingin berkenalan denganku. Dia bilang dia adalah pacarnya anak itu. Lalu aku ingat kalau dia pernah bercerita soal anak yang disukainya dulu, dan tidak sadar tertawa kecil karena ternyata dia berhasil mendekatinya.

Aku bertanya dari mana dia tahu aku? Dia bilang kalau anak itu sering bercerita tentangku. Dia sering bilang kalau aku adalah sahabatnya dan ingin bertemu denganku lagi suatu hari nanti. Aku bertanya kenapa bisa pacaran dengannya dan anak perempuan itu bilang kalau dia LDR-an karena temanku itu sekarang mondok di pesantren. Dan anak perempuan itu mulai bercerita panjang lebar, dia juga sempat menceritakan kalau Ibunya juga ingin bertemu denganku lagi. Dia minta nomor kontakku tapi aku tidak punya handphone.

Aku cuma tersenyum mendengarkan dan titip salam balik, aku bilang akan mendoakannya. Meskipun kabar itu tidak dari mereka secara langsung, tapi entah kenapa aku bahagia sekali. Aku bahagia bahwa yang aku lakukan walaupun kecil, ternyata diingat dalam hati mereka. Walau kadang aku malu karena mereka berkembang lebih baik dariku, tapi aku senang karena hari itu, aku memilih duduk bersama Ibunya daripada pulang. Aku tidak banyak membantunya, juga belum merasa sudah jadi teman yang baik, tapi aku tidak tahu kalau ternyata itu cukup. Cukup untuk membuatnya mengingatku dengan tulus.

Berurusan dengan dia juga dalam satu dan lain hal membantuku. Aku jadi terbiasa dengan ‘anak nakal’, saat aku masuk Tae Kwon Do, Sabeum-ku selalu menempatkan anak yang sulit diatur untuk berpasangan denganku. Katanya walaupun aku pendiam dan tidak banyak bicara, anak-anak itu bisa mengerti kapan bisa bercanda kapan serius saat bersamaku.

Aku juga punya teman lain di Tae Kwon do yang selalu berantem denganku tapi berakhir jadi teman. Dia selalu mengejekku dan berakhir kupukuli dengan sapu. Tapi suatu hari karena berkelahi dengan kakak kelas dia dijauhi semua orang, saat itu aku tetap sama dan tetap cekcok seperti biasa dengannya tiap kali latihan. Apesnya dia jadi makin sering menjahiliku dan selalu mencari celah membuatku sebal. Dia tidak akan berhenti sampai aku mengejar dan memukulnya.

Saat kelas 3 SMP aku sempat jadi ketua dari regu pementasan drama dan aku tidak berhasil mencari orang lagi di hari-hari terakhir, aku panik, tapi aku juga segan meminta tolong orang lain karena tinggal sehari lagi untuk latihan dan semua orang sudah punya list kesibukan masing-masing. Anak itu, entah tahu darimana, tiba-tiba datang dan bertanya kepadaku;

“Kurang berapa orang lagi?”, aku bilang “Dua, untuk tokoh laki-laki”.

Tanpa ba-bi-bu dia pergi dan kembali dengan seorang temannya bergabung dalam regu kami, menyelamatkanku.

Anehnya saat aku berurusan dengan anak-anak yang kupikir nakal dan sulit diharapkan dan karena aku jadi tidak mengharapkan apapun dari mereka, saat suatu hari mereka membantu atau menyelamatkanku, itu jadi momen yang berkesan dan sulit dilupakan.

Waktu SMP aku sering diminta untuk mengajari anak-anak di komplek-ku, anehnya orangtua yang datang kerumahku, tidak memintaku untuk mengajarkan anaknya matematika atau IPA. Justru aku disuruh mengajari mereka membaca, mewarnai atau menyuruhku menemani dan menjadi teman bicara mereka. Suatu hari aku pernah diminta untuk mengasuh anak TK yang hyperaktif, aku ingat sampai kelelahan mengurusnya, kadang-kadang takut juga karena dia selalu diluar prediksiku dan minta yang macam-macam, sekarang anak itu bahkan sudah jauh lebih tinggi dariku dan malu-malu waktu bertemu denganku.

Aku juga pernah disuruh mengajar anak yang sulit fokus, dia sudah kelas empat tapi masih belum bisa menulis dan membaca dengan benar. Dia sulit menatap fokus saat bicara dan selalu terdistraksi. Orangtuanya sudah banyak mendaftarkannya bimbingan belajar, tapi anak itu malah makin tertekan. Karena itu aku yang hanya 2 tahun lebih tua darinya disuruh menemaninya sebagai kakak dan mengajarinya perlahan-lahan.

Aku tidak tahu kalau aku menyukainya, mengajar, bertatapan muka dan membuat bonding dengan anak-anak yang kuajari. Semakin sulit anaknya justru aku semakin sayang, karena semakin banyak yang akan kulewati bersamanya. Semakin nakal, semakin aku ingin lebih dekat.

Besok aku akan mulai mengajar privat lagi dan aku antusias sekaligus takut. Anak seperti apa yang akan kutemui nanti, aku hanya ingin berdoa semoga kedatanganku akan membawa lebih banyak hal dan perubahan baik. Semoga aku bisa mengamati bagian-bagian yang luput dari pengamatan orang lain dan melakukan sesuatu untuknya. Sekecil apapun.

Aku sebenarnya berharap, saat orangtua tahu kalau anaknya pintar atau penurut, mereka tidak akan mengurung dan membatasi mereka untuk hanya dirumah dan fokus belajar. Anak-anak yang tumbuh seperti itu jadi tergantung dengan orangtuanya dan tidak terlalu tahu caranya percaya dengan orang lain.

Mereka mungkin terlihat seperti anak yang sempurna, tapi aku pikir ada lebih banyak masalah yang bisa diselesaikan kalau anak-anak saling mengamati teman sebaya mereka dan diajak untuk berteman dengan baik.

Ada banyak hal yang bisa dilakukan seseorang sebagai teman selain sebagai guru atau orangtua. Guru atau orangtua itu penting, tapi karena terlalu protektif, kita kadang jadi lupa kalau anak-anak itu statusnya sama, tidak ada yang nakal atau baik tapi sama-sama belajar jadi dewasa.

Guru dan orangtua mungkin bisa memberikan pelajaran, keamanan dan masa depan. Tapi teman bisa memberikan kepercayaan diri dan keberanian. Saat bersama guru dan orangtua, kita belajar dari nasihat dan kasih sayang, tapi dari teman kita belajar dari kesalahan dan hal-hal yang konyol.

Bukan cuma mendengarkan tapi juga meraba dan memilah. Guru dan orangtua akan memberitahu arah kompas, utara, selatan, barat, timur, dan memberi kita pilihan, tapi teman akan membantumu membuat kompas bersama.

Aku harap, anak-anak bisa berteman dan menelusuri satu sama lain secara langsung, jadi mereka tidak berfokus ke diri mereka sendiri.
Jika suatu hari mereka menghadapi kemalangan, mereka tahu kalau yang mereka alami tidak seberapa, daripada hal yang bisa mereka lakukan. Kalau mereka memiliki kelebihan, mereka tahu kalau mereka bisa melakukan lebih banyak daripada hanya menggunakannya untuk diri sendiri.

Saat aku mengajar anak-anak sekarang ini, anehnya aku masih merasa aku duduk sejajar dengan mereka, seperti saat dulu, saat tinggi badanku tidak jauh berbeda dengan anak yang kuajak bicara didepanku.

Aku menyadari, bahwa aku juga, masih ingin belajar dan berteman lebih banyak lagi. Karena walaupun orang bilang aku orang dewasa sekarang, aku masih merasa kurang, masih merasa perlu banyak belajar,

…seperti anak-anak.

Photo by : Arsy ‘17

--

--

kintanalifa

My soul is a faith to be nurtured, my body is a law to be kept in a time.