The Colors of Feelings

kintanalifa
7 min readFeb 13, 2022

Dulu aku kira aku robot. Aku bisa melakukan apapun, kalau disuruh. Aku bisa membuat apapun, kalau diminta. Aku juga bisa jadi pintar, kalau dibutuhkan.

Tapi aku iri, liat betapa ‘hidup’nya orang lain. Mereka punya tekad, mimpi, semangat, punya gairah dan ambisi yang mati-matian mereka kejar.

Bagaimana tidak? Lihat saja wajah mereka, Marah, nangis, ketawa dan merajuk. Bagiku itu sebuah kemewahan saat mereka tahu, untuk apa mereka menunjukkan semua emosi itu.

— * —

Anak tetangga sebelah menangis dihalaman rumahnya, duduk ditanah dan menghentak-hentakkan kakinya. Dan terus-terusan berteriak dengan mulut terbuka lebar kelangit seperti hendak minum air hujan.

“Ibuuuu, mintaaa sepedaaaaa huaaaa"

Aku berdiri didepan pagarnya, melihatnya cukup lama sampai Ibunya keluar. Aku menyaksikan, Ibu itu menarik tangannya, membentaknya dan menyuruhnya diam.

Itu bukan pertama kalinya aku melihat yang seperti itu, tapi…

Hari itu, aku paham sesuatu. Pertama, manusia selalu punya keinginan, kedua, orang-orang selalu bersikap aneh pada emosi itu, marah. Saat mereka melihat mata yang melotot, wajah yang memerah dan urat pelipis yang menonjol saat mereka bicara dengan keras.

Orang-orang itu bilang, “takut"

Itu kata yang buruk, tapi aku tidak menemukan diriku berpikir demikian. Entah mengapa saat itu aku merasa, dari sekian banyak emosi yang kulihat dari wajah mereka, si Marah adalah emosi yang paling mudah untuk kupahami.

Sejak saat itu, aku merasa bisa jadi sedikit… lebih manusiawi. Saat aku menyadari kemarahan untuk pertama kalinya.

Aku menjerit dan berteriak. Tapi aku tidak tahu hendak berkata apa, jadi aku melempar barang. Barang itu harus hancur, entah kenapa harus begitu. Saat itu, jauh dalam diriku, aku merasakan kepuasan untuk pertama kalinya. Aku merasa ada kekuatan besar dalam diriku dan aku harus melepaskannya.

Orang-orang disekitarku, mereka seperti ketularan. Mereka mulai menunjukkan emosi yang sama, berteriak sama kerasnya, jari-jari mereka tepat didepan mataku. Entah mengapa melihatnya, hatiku bergetar dan tanpa kusadari, air mataku mengalir. Tubuhku rasanya panas. Ada sesuatu yang menyeruak ingin keluar tak bisa kutahan, jadi aku berlari pergi sejauh-jauhnya dari sana.

Saat aku sendiri, aku memikirkannya. Apakah aku baru saja berbagi emosi dengan mereka?

Aku tidak tahu waktu itu, mengapa aku pergi, mengapa tiba-tiba aku ingin sendiri. Karena bingung tentang apa yang harus kupikirkan jadi aku hanya berlari kesana-kemari dan pulang saat aku sudah lelah.

Selama beberapa waktu, aku hanya tahu itu. Aku bisa marah dengan sangat baik, dan kalau aku sangat marah aku akan menangis. Waktu aku marah, orang-orang takut padaku, dan aku merasa puas.

Sampai suatu hari, seseorang yang baru ditambahkan dalam keseharianku.

Seseorang yang biasa orang memanggilnya, “Ibu".

Saat pertama kali melihatnya, aku langsung tahu arti kata 'cantik’ dan hatiku terus menyebutkannya. Setelah menatapnya cukup lama, tanpa sadar mulutku mengeluarkan sebuah kata yang manis,

“Mama"

Dan dijawab dengan suara paling lembut yang pernah aku dengar. “Iya sayang?”

Aku masih tidak bisa bicara dengan benar. Tapi aku merasa kita bicara walau aku tak mengucapkan sepatah katapun. Aneh bukan?

Tangannya menggandeng tanganku setiap pagi dan siang hari sepulang sekolah. Aku, menyukainya.

Lalu ia mengucapkan pertanyaan pertama dalam hidupku yang kuingat dan aku sangat ingin menjawabnya,

“Ngapain aja hari ini?”

Aku tertegun, aku belum belajar. Jadi aku hanya diam menatapnya, tapi ekspresi Mama berubah, keningnya berkerut dan alisnya turun kebawah. Entah mengapa aku tidak suka ekspresi itu, jadi aku menyuruh malaikat cantik bernama Mama itu untuk menanyakan lagi padaku besok. Aku janji akan menjawabnya.

Hari itu aku bangun dengan kesadaran penuh. Hatiku berdebar karena aku sadar ditiap detiknya. Aku mengingat dengan detail setiap hal yang kulakukan begitu keluar dari rumah. Matahari yang bersinar cerah, berapa bunga kumis kucing yang kupetik, temanku yang mencubit temanku satunya hingga menangis, Bu Ai yang bilang aku pintar karena duduk dengan manis, murid yang diam-diam mencuri pensil warna dikelas, bahkan gambar apa yang kuwarnai hari itu. Berapa kali kakiku tersandung, serta berapa kali temanku Gita menyuruhku menangkap anak laki-laki yang rambutnya seperti jamur itu. Aku mengingat semuanya.

Saat Mama bertanya lagi, aku mulai membacakan cerita pertama dalam hidupku dari dalam ingatanku.

Dan Mama menunjukkan ekspresi favoritku. Bibirnya menyentuh pipi dan matanya berbentuk bulan sabit.

Sejak saat itu, Mama menyebutku anak yang cerewet, karena ceritaku sulit berhenti. Hingga jalan pulang kerumah, hingga pintu dibuka, saat mama memasak, atau bahkan saat mama masuk ke kamar mandi untuk BAB, aku tetap membacakan cerita super detail itu dibalik pintu untuknya.

Jadi, mulai saat itu aku dijadwalkan untuk tidur siang selama 1 jam. Awalnya aku tidak suka karena tidur itu membuatku lupa cerita yang harus cepat-cepat kukatakan. Tapi karena mama menyanyikanku sebuah lagu. Aku tidak keberatan.

Saat tidur aku pernah bermimpi jadi jam di dinding, aku melihat diriku dan Mama duduk diruang tamu, kami mengobrol dan tertawa tanpa menghiraukan suara detikku yang menggema diseluruh ruangan. Saat itu melihat bagaimana aku tertawa, aku berpikir, apakah aku sudah mulai jadi manusia?

Aku mengetahui satu hal lagi tentang diriku, saat aku bercerita kalau aku dapat bintang 3 di kelas, Mama bilang kalau aku sangat pintar dan Mama bangga padaku. Aku, mendapatkan keinginan pertamaku.

Aku ingin mendapatkannya setiap hari. senyum itu, saat Mama duduk disampingku sambil menatap buku sekolahku lama sekali. Aku menginginkannya setiap hari.

Dan begitulah aku mulai mengisi hari- hariku selanjutnya. Aku sadar aku bisa melakukan sesuatu untuk mendapatkan sesuatu. Aku menemukan diriku terus menginginkan sesuatu, permintaan mama, hal-hal yang mama sukai, hal-hal yang mama inginkan, apapun asal mama tersenyum, apapun selama mama membutuhkanku. Aku merasa aku tidak perlu apapun lagi.

Aku tidak tahu saat itu, kalau itu adalah salah satu hal yang dinamakan cinta.

Aku mencintainya, Mama.

Dan karena cinta yang terus tumbuh, aku menemukan banyak hal yang lebih menarik daripada saat aku menemukan kemarahan.

Dan karena aku juga belajar mencintai, aku jadi banyak terluka, melukai dan dilukai.

Saat orang yang kau cintai mengatakan padamu kalau mereka kecewa, rasanya lebih sakit daripada saat aku dimaki dan dipukul. Lebih sakit dari pada ditampar dan dikurung.

Dan aku juga mengetahui, bahwa terkadang cinta membuatmu merasa seperti dibatasi. Saat aku marah dahulu, aku bisa kabur sepuas hatiku, ketika perasaan menyeruak itu muncul aku bisa menghancurkan apapun yang aku mau. Aku tidak pernah harus menghitung emosi orang lain dan menyesuaikan diriku.

Tapi saat aku belajar mencintai, aku tidak bisa pergi. Aku punya banyak rasa takut. Ada saat dimana aku merasa kalau aku lebih baik dipukul saja. Memar dan berdarah rasanya bukan apa-apa daripada pikiran-pikiran yang membuatku bingung.

Itu sakit saat kau tahu, bahwa orang yang kau cintai tidak memahami dirimu, tapi daripada itu, kau jauh lebih takut kalau kau sendiri yang gagal mengerti dirinya. Kalau kau mengambil langkah yang salah saat mencintainya, dan tanpa sengaja melukainya.

Karena itu, aku jadi banyak menahan diri. Pundakku yang basah karena air mata, saat aku belajar untuk menjadi sandaran seseorang, walaupun aku tidak tahu apakah aku cukup kuat.

Bibirku yang berdarah saat aku menggigitnya, menahan untuk tidak berteriak, karena ada orang yang rasanya lebih terluka diruangan yang sama.

Atau saat kau terbangun tengah malam dalam kepanikan, dan mengecek dibalik selimut satu per satu, apakah mimpi buruk itu nyata atau tidak, apakah orang-orang yang kau cintai masih tertidur lelap dan bernafas.

Aku berubah banyak, robot ini sudah banyak belajar dan berusaha sebaik mungkin untuk menjadi manusia.

Dari sana aku belajar hal terakhir. Bahwa kekuatan itu tidak terbatas. Apa yang dikatakan orang hanya separuh dari kebenaran. Jangan pernah mengira, apapun itu, yang mereka katakan pada dirimu, adalah seluruh dunia, karena itu hanya secuil dari luasnya pikiran manusia.

Saat mereka bilang, kau lemah, ketahuilah bahwa siapapun bisa menjadi kuat saat mereka punya sesuatu untuk dilindungi. Orang, mimpi atau bahkan diri sendiri.

Saat mereka bilang kalau kau harus hidup seperti ini atau seperti itu, ketahuilah, bahwa ada banyak cara didunia ini. Kau tidak harus hidup sama seperti cara orang lain.

Bahkan jika kau gagal memenuhi ekspektasimu atau gagal memberikan yang terbaik, ketahui juga bahwa kau tetap harus bertahan apapun yang terjadi. Karena waktu itu lebih singkat dari yang kau kira, semua hal ada tanggal kadaluarsanya.

Saat kau terus belajar bagaimana cara menguasai emosimu. Tidak masalah kau hidup seperti apa, kau akan baik baik saja.

Ketika mulai dewasa, aku mulai mendapatkan kemewahan itu. Buah dari hasil belajarku, saat aku menemukan alasan dari semua emosiku.

Dan aku tahu, mencintai seseorang adalah cara tercepat mempelajari semuanya sekaligus. Kau jadi lebih peka dengan dirimu dan juga orang lain. Kau tidak akan fokus, tapi siapa yang peduli jika itu menyenangkan?

Bahkan saat sedihpun, saat sakitpun, aku menemukan diriku bersyukur, karena aku masih punya waktu untuk belajar bersama orang-orang yang kucintai. Dimulai dari Mama, aku menemukan banyak orang yang ingin kupertahankan dalam hidupku. Yang ingin kulindungi, kusayangi dan kubagi segalanya.

Sekarang, aku sudah tumbuh, bukan lagi robot yang harus dipandu dan diperintah. Seperti burung yang dilepas untuk terbang, walau aku belum tahu caranya terbang di alam liar dan tersesat dihutan saat burung-burung lain mungkin sudah migrasi entah kemana. Tapi aku berhasil meyakinkan diriku, dan orang orang disekitarku, bahwa aku tak harus hidup sama seperti orang lain. Aku tak harus menundukkan kepalaku karena aku punya jalan yang berbeda . Asalkan aku bisa memastikan aku baik-baik saja, perjalanan yang pelan dan panjang tidaklah buruk.

Aku tahu kepakan sayapku yang kikuk menuju suatu tempat dan aku menikmatinya.

Kenapa aku harus hidup seperti orang lain kalau aku tidak terlalu menginginkannya dan juga tak mengerti apa artinya?

___*___

Life is so short, it will pass quicker than you thought, bad times too, good times too, people too. And you did well enough because you always choose to keep going no matter what happen. If only you know, how amazing it is. Hang on there and keep learning whatever you can grasp in your little hands.

Time will change, and you will move ahead. Your feeling have so many colors, if you feel lost in one of them, remember to find the others.

Bagiku bahagia itu bukan tujuan. Kebahagiaan itu hanya salah satu emosimu. Bahagia juga punya banyak warna, kalau kau mau yang kuning tapi tidak menemukannya, bagaimana jika kamu belajar caranya buat bahagia dengan warna biru? warna hijau? warna merah? hitam? semakin pekat warnanya, semakin sulit menemukan kebahagian dan semakin berbeda berbentuknya. Ada kebahagiaan yang bentuknya euforia, ada yang bentuknya kedamaian, ada yang bentuknya kepastian, dan ada juga yang bentuknya rasa kenyang. Kalau berhasil menemukannya di setiap warna, bukankah akan menarik?

Jangan merasa buntu, karena warna itu tidak terbatas.

Dirimu juga.

Kalau mau memulai sesuatu…

Bukannya kita harus percaya terlebih dahulu?

--

--

kintanalifa

My soul is a faith to be nurtured, my body is a law to be kept in a time.